11 Juni 2009

Kapongor

EDITORIAL
Ida Bhawati Putu Setia
Suatu hari ada orang yang bertanya pada saya, apakah benar menanam pohon kelapa di depan rumah bisa kapongor. Apa itu kapongor? Tanya saya memancing, "Dimar:ahi Bethara," katanya. Saya katakan, Bethara tak pemah marah, tetapi kapongor itu betu!. Nanti kalau kelapanya berbuah lalu jatuh dan menimpa anak-anak yang masih kecil, kan berbahaya.

Di hari yang lain, seseorang bertanya, apa berani menebang pohon kepuh di setra. Pohon itu sudah tua, kalau dahannya rontok berbahaya buat orang yang ada di bawahnya. Lagi pula di setra akan dibangun balai panjang untuk "mesayuban" dari terik matahari atau hujan. Sayajawab: "Potong saja." Lalu saya ditanya lagi, apa tidak kapongor? Saya katakan; "Tidak". Dan betul setelah bertahun-tahun tak ada yang berani menebang poJ1on kepuh yang dibilang keramat itu, sekarang sudah lenyap. Setrajadi asri dan ada bale "mesayuban".

Ada lagi yang unik. Seseorang yang baru menjadi nenek konsultasi ke saya, dia mau ke balian. Dia ingin bertanya, siapa nama cucunya yang baik agar anak itu tumbuh sehat dan cerdas di masa depan. Saya tanya dulu, apa bapak dan ibunya sudah memberi nama pada anaknya itu?Sudah, katanya. Nama pembe­rian orang tuanya cukup panjang: Ni Putu Juniwati Putri Dewi. Nenek itu khawatir nama panjang itu akan membuat keluarga itu kepongor, karena nama-nama leluhumya hanyalah Wayan Sobret, Ketut Manyong, Nengah Keplug dan sebagainya.

Saya katakan kepada nenek itu: "Jangan sekali-sekali menan­yakan nama ke balian, nanti nama itu diganti atau dikatakan jelek. Ini nama bagus sekali, anak itu akan cerdas." Ketika sang nenek diam, saya katakan lagi; "Kalau tanya ke balian paling disebutkan anak itu keberatan nama, lalu sakit-sakitan. Supaya sehat namanya diganti menjadi Putu Lenjog, malah nanti anak itujadi malu."

Kisah-kisah seperti ini banyak sekali terjadi di pedesaan. malah ada yang sampai bentrok dalam kekeluargaan. Misalnya soal kawitan, dan ini cerita nyata. Sebuah keluarga ada anaknya yang sakit gatal-gatal, lama tak sembuh. Ditanyakan ke balian, eh, temyata salah kawitan. Selama ini keluarga besamya itu ter­masuk soroh Pasek Bendesa. Menurut balian, seharusnya Pasek Kayu Selem. Keluarga itu mantap pindah kawitan, namun kelu­arganya yang lain tak mau. Alasannya juga sudah menanyakan ke balian yang lain. Apa yang terjadi? Karena takut kapongor terus-menerus -- yang ditandai dengan sakit gatal itu -- keluarga yang anaknya sakit itu pindah kawitan. Ya, akhimya pecah dadia, pecah panti dan seterusnya.

Saya mengenal keluarga besar itu dan saya tentu tak mau mencampuri urusan soroh berdasarkan omongan balian. Apalagi seumur-umur saya tak pemah bersinggungan dengan balian. Tapi saya siap menolong keluarga itu.,

Pertolongan yang pertama saya lakukan, bukan soal kemana mencari soroh yang benar. Tetapi mengajak anak yang sakit gatal itu ke dokter kulit di Denpasar. Temyata anak itu mengidap penyakit kulit akibat virus yang memang harus diobati secara benar dan terus-menerus dalam jangka waktu tertentu. Akhirnya sakitnya sembuh. Setelah anak itu sehat, kepada keluarga besar itu saya minta mempelajari silsilah kawitan berdasarkan babad yang ada. Nah, terserah mereka untuk memilih, mau ke mana .. Yang jelas, tak ada urusan kapongor di sini, yang ada urusan virus yang menyerang kulit yang tak bisa disembuhkan oleh obat dari Puskesmas atau loloh dari balian.

Belum lama ini ada keluarga yang juga "minta izin" ke saya, apa baik menanyakan ke balian, apakah kakek dan ne­neknya yang baru diaben sudah mendapat tempat yang "pas" di sana. Saya'tidak heran soal ini, sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun. Saya tanya alasannya, meski pun saya sudah bisa menebaknya. "Ya, siapa tahu, banten ngabennya kurang ini kurang itu, atau salah runtutan upacaranya," katanya. Saya katakan, perbuatan menanyakan ke balian itu justru melanggar ajaran agama. Pertama, karena kita menjadi tidak yakin setiap melaksanakan yadnya. Padahal syarat dari yadnya adalah keya­kinan. Kedua, kita tidak tulus menyerahkan urusan ritual kepada Sulinggih yang muput, padahal ketulusan ini utama. Jangan pernah ragu dengan Sulinggih begitu kita memilih beliau untuk muput. Ketiga, tak ada urusan Hyang Pitara atau apapun sebu­tannya setelah diaben menjadi marah atau tak mendapat tempat yang "pas" hanya gara-gara banten. Keempat, siapa balian itu? Kalau balian itu tak pemah mempelajari tingkat pengabenan, omongannya bisa jadi ngawur.

Masyarakat Bali -- meskipun tidak begitu banyak lagi seperti dulu -- masih percaya pada balian jenis ini. Maksudnya balian untuk meluasang, balian baas pipis, balian dasaran, atau sebutan lainnya. Yakni balian yang entah dengan teknik atau ilmu yang beragam, dipercaya bisa menjadi perantara dari roh orang yang sudah tiada. Atau kalau tidak "kemasukan roh" seolah-olah tahu dan bisa menebak segala sumber yang jadi pangkal masalah "pasiennya". Dari sinilah kemudian muncul istilah kapongor karena berbagai hal. Kapongor salah upacara, kapongor salah banten, kapongor salah memberinama dan sebagainya.

Anehnya, jarang sekali balian berkata: "Kamu kapongor oleh Hyang Pitara ini karena suka minurn arak, suka berjudi, suka metajen, suka selingkuh, suka narkoba, suka memirat." Kalau ada balian seperti itu, mungkin baik juga, masyarakat Bali bisa lebih sejahtra.

07 Mei 2009

Dilema Menghadapi Kematian

EDITORIAL
I Nyoman Landra, ST
Selama jangka waktu pelakasanaan Karya Agung Panca Bali Krama dan Bhatara Turun Kabeh di Besakih, ada aturan tidak diperbolehkan melangsungkan upacara yang berkaitan dengan mayat (sawa prateka) seperti membuatkan upacara untuk menguburkan jenasah apa­lagi melangsungkan upacara pengabenan. Aturan yang dikenal dengan istilah nyengker ini telah diedarkan oleh panitia.

Aturan ini banyak menimbulkan masalah di masyrakat, karena keluarga yang tertimpa musibah kematian tidak terima kalau jenasah keluarganya dikubur begitu saja tanpa ada upacara pemakaman sebagaimana mestinya. Teman saya di Buleleng bercerita bahwa ketika ada warga masyarakat memiliki kema­tian, maka pihak keluarga tersebut berkoordinasi dengan ketua PHDI Buleleng dan Majelis Madya Desa Pakraman. Kedua tokoh tersebut menyarankan untuk mengikuti aturan yang telah diedarkan.

Pihak keluarga tidak mau menguburkan jenasah tanpa dibuatkan upacara karena ada perasaan kurang berbakti terhadap yang meninggal tersebut. Ketika diberi altematif menunggu hingga selesai upacara di Besakih, pihak keluargapun keberatan karena masalah biaya untuk menjamu tamu yang akan datang setiap malam dan lain-lainnya. Pihak keluarga mau menunggu penguburan hingga upacara usai asalkan jenasah kelurganya bisa dititipkan di rumah ketua Majelis Madya Desa Pakraman atau rumah ketua PHDI. Tentu permintaan ini juga sangat memberat­kan bagi kedua tokoh tersebut, sehingga mau tidak mau jenasah tersebut dikuburkan sebagaimana mestinya alias melanggar aturan, asalkan dilaksanakan secara diam-diam.

Kejadian di Krambitan- Tabanan, berbeda dengan di Bule­leng. Ketika ada seorang sulinggih lebar (meninggal dunia), para pengurus desa pakraman juga tidak memberikan ijin untuk melangsungkan upacara pengabenan, padahal aturan nyengker tersebut memberikan pengecualian terhadap sulinggih yang meninggal selama berlangsungnya upacara Panca Bali Krma dan Bhatara Turun Kabeh. Karena keluarga sulinggih tidak mau ribut dengan pihak desa pakraman, maka pihak keluarga menyemayamkan jenasah sang sulinggih di gryanya hingga upacara di Besakih usai. Selama disemayamkan itu, sang suling­gih dianggap tidur sehingga tidak dibuatkan upacara setiap hari sebagaimana mestinya.

Kejadian di Denpasar berbeda lagi. Ketika ada keluarga tertimpa musibah kematian, maka dia menitipkan jenasahnya di rumah sakit untuk menunggu usainya upacara di Besakih. Karena banyak yang mau menitipkan jenasah di rumah sakit, maka pihak rumah sakitpun kehabisan stock "kontener mayat", sehingga pihak rumah sakit tidak bisa melayani permintaan masyarakat yang hendak menitipkan mayatnya di rumah sakit.

Di Karangasem, ada seorang pemangku meninggal dunia dan hendak melangsungkan upacara pengabenan. Keluarganya mendatangi krematorium Santha Yana, meminta untuk bisa me­langsungkan upacara pengabenan disana. Namun karena pihak krematorium tidak mau melayani, pihak keluargapun mencoba mencari krematorium yang lain untuk bisa digunakan sebagai tempat untuk mengabukan jenasah pemangku tersebut.

Beberapa hari yang lalu teman saya juga bertanya, "Ke­napa aturan nyengker hanya berlaku bagi umat Hindu di Bali? Bagaimana dengan umat Hindu di luar Bali? Bagaimana dengan umat non Hindu yang ada di Bali?" Teman ini juga mengaju­kan pendapatnya, "Kalau upacara Panca Bali Krama bertujuan untuk menciptakan keharmonisan jagat khususnya Bali, tentu seluruh manusia yang ada di Bali memiliki tanggungjawab dan kewajiban yang sama. Jangan hanya cari makan dan kekayaan di Bali, namun tidak ikut menciptakan suasana harmonis baik secara skala maupun niskala. "Sayapun mencoba menimpali, "Lo ... , mereka kan bukan orang Hindu, tentu mereka tidak memiliki keyakinan yang sarna dengan kita orang Hindu, mana bisa mereka dipaksa untuk ikut aturan kita. Bisa jadi, mereka berpandangan biarin aja orang Bali membuat upacara yang besar-besar, kita suplay seluruh kebutuhannya seperti janur, kelapa, pisang, telur, ayam, itik dan lain sebagainya."

Melihat beberapa fakta tersebut membuat saya menjadi merenung dan bertanya dalam hati, "masih sesuaikah aturan tentang penyengkeran jenasah selama Karya Agung Panca Bali Krama dan Bhatara Turun Kabeh?" Melihat masyarakat (umat Hindu) yang semakin kritis dewasa ini, tentu semakin sulit menerapkan aturan yang tidak masuk akal, walaupun ada acuan­nya seperti lontar-lontar atau sejenisnYa. Umat akan menuntut rujukan yang lebih tinggi, karena sebagian umat menganggap lontar itu setara dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak-juknis).

Kekritisan umat dewasa ini hendaknya disikapi secara bijak oleh seluruh lapisan umat sehingga agama Hindu yang dikenal universal dan fleksibel bisa dirasakan langsung oleh umatnya. Jika ada aturan yang dirasa memberatkan umat, tentu sudah menjadi kewajiban bagi tokoh-tokoh umat (PHDI, Majelis Desa Pakraman, Sulinggih dll) untuk duduk bareng dan melakukakan pengkajian ulang sehingga aturan tersebut bisa disesuaikan den­gan perkembangan jaman. Aturan baru yang dihasilkan tersebut, tentu harus disosialisasikan dengan baik sehingga umat Hindu bisa memahami aturannya termasuk dasar-dasar pijakan yang dirujuk aturan tersebut.

04 Mei 2009

Politik Ritual Kematian

I Ngurah Suryawan